Kamis, 03 Juni 2010

Lebih irit Pertamax

Pakai Pertamax Motor Lebih Irit, Tapi ...
Sepeda Motor
 Pemerintah berencana membatasi penggunaan bahan bakar bersubsidi. Berbagai opsi tengah dibahas pemerintah, salah satunya melarang sepeda motor menggunakan premium.

Mau tidak mau, nantinya pengendara harus menggunakan bensin beroktan tinggi, seperti Pertamax (oktan 92), maupuan Pertamax Plus (Oktan 95), atau kalau di SPBU Shell, bisa menggunakan Shell Super (oktan 92) dan Shell Super Extra (oktan 95).

Selain karena alasan penghematan anggaran subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN), sebenarnya apa manfaat BBM dengan oktan yang lebih tinggi? Pengamat otomotif Soehari Sargo mengatakan, bahan bakar beroktan tinggi akan menghasilkan tenaga yang lebih besar.

"Karena tenaganya besar, kerja mesin lebih ringan. Ini pasti akan membuat irit bahan bakar," kata dia saat dihubungi VIVAnews, Kamis 27 Mei 2010. Bila kerja mesin ringan, Soehari melanjutkan, pasti akan membuat mesin lebih awet.

Dia mengatakan, saat ini mesin kendaraan keluaran di atas tahun 2000 sudah diset menggunakan oktan di atas 92. Bahan bakar ini sudah sesuai standar keramahan lingkungan Euro 2, tidak seperti premium yang banya beroktan 88.
Namun, meski konsumsi lebih irit, konsumen tentu akan membeli Pertamax dengan harga lebih mahal. Jika selama ini, pemakai sepeda motor membeli Premium Rp 4.500 per liter, namun jika membeli Pertamax Rp 6.950 per liter untuk pasar Jakarta. Apalagi di Bitung, Sulawesi Utara, harga Pertamax malah tembus Rp 9.850 per liter.

Saat ini pemerintah tengah sibuk menyiapkan pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi, yakni solar dan premium. Kementerian mengaku tengah mengkaji berbagai opsi dengan pelaku industri.

Beberapa waktu lalu misalnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Evita Herawati Legowo mengatakan, Kementerian Energi bersama Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) tengah intensif membahas opsi pembatasan konsumsi premium dan solar dengan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Opsinya, antara lain melarang kendaraan yang diproduksi setelah 2005 tipe baru atau kendaraan produksi 2007 tipe baru membeli bahan bakar subsidi.

Ada pula opsi agar hanya kendaraan berpelat nomor polisi kuning alias mobil umum yang boleh membeli solar dan premium. Selain kendaraan itu, tentu harus menggunakan BBM nonsubsidi seperti Pertamax dan Pertamina Dex.

Opsi lain, pemerintah mencari bahan bakar jenis baru dengan oktan 88-92 yang tidak disubsidi, pemanfaatan stiker dengan masa berlaku bulanan, serta permintaan kepada perusahaan kendaraan agar mensosialisasikan pentingnya menggunakan bahan bakar beroktan tinggi yang sudah tidak disubsidi.

Usulan lain, semua kendaraan jenis sedan dilarang membeli BBM premium, tidak peduli tahun pembuatannya. Ini sesuai dengan definisi kendaraan mewah versi Gaikindo.

Belakangan, Evita malah mengatakan telah berkoordinasi dengan Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia mengenai wacana larangan penggunaan premium bagi sepeda motor. Wacana ini jelas akan berpengaruh pada jutaan pengguna sepeda motor di Indonesia.

Evita menjelaskan, beberapa opsi ini sebagai cara menekan konsumsi BBM agar tidak melebihi kuota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010, sebesar  36,5 juta kiloliter. Jika pemerintah tidak membatasi, konsumsi BBM bisa membengkak menjadi 40,5 juta KL sepanjang 2010 yang berakibat pada meningkatnya defisit APBN.hadi.suprapto@vivanews.com

Karena itu, pemerintah menargetkan pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi bisa terealisasi pada triwulan III-2010. (hs)

Tidak ada komentar:

Terimakasih atas kunjungan Anda